I. Bentuk Teori
Motivasi Untuk Menggerakkan Proses Kerja Karyawan dengan Penuh Semangat
1.
Teori Tata
Tingkat – Kebutuhan Menurut Abraham Maslow
Teori
tata tingkat – kebutuhan dari Maslow mungkin merupakan teori motivasi kerja
yang paling luas dikenal. Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berada dalam
kondisi mengejar yang berkesinambungan. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung
kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Maslow mengajukan lima kelompok kebutuhan, yaitu
kebutuhan faali (fisiologikal), kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial,
kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut disusun secara tata tingkat dan terkadang disebut piramida Maslow.
a.
Kebuthan
Fisiologikal
Kebutuhan
yang timbul berdasarkan kondisi fisiologikal badan kita seperti kebutuhan untuk
makanan dan minuman, udara segar (oksigen). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan
primer atau kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
b.
Kebutuhan Rasa
Aman
Kebutuhan
ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Dalam
pekerjaan, kita temui kebutuhan ini dalam bentuk rasa asing sewaktu menjadi tenaga kerja baru
atau sewaktu pindah ke kota baru.
c.
Kebutuhan Sosial
Kebutuhan
ini mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih, rasa memiliki (belonging). Setiap orang ingin menjadi
anggota kelompok sosial, ingin mempunyai teman, kekasih. Dalam pekerjaan kita
temui kelompok informal yang merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sosial
seorang tenaga kerja.
d.
Kebutuhan Harga
Diri
Kebutuhan
harga diri meliputi dua jenis, yaitu:
1) Faktor-Faktor
Internal, seperti kebutuhan harga diri, kepercayaan diri, otonomi dan
kompetensi.
2) Faktor-Faktor
Eksternal, kebutuhan yang menyangkut reputasi, seperti mencakup kebutuhan untuk
dikenali dan diakui (recognition),
dan status.
Kebutuhan harga diri ini dapat terungkap dalam
keinginan untuk dipuji dan diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar
dan dihargai pandangannya.
e.
Kebuthan Aktualisasi
Diri
Kebutuhan untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dirasakan dimiliki. Kebutuhan
ini mencakup kebutuhan menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan
potensinya secara penuh. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan
tugas pekerjaannya.
2.
Teori Eksistensi
– Relasi – Pertumbuhan Menurut Alderfer
Teori motivasi
ini dikenal sebagai teori ERG sebagai singkatan dari Existence, Relatedness,
dan Growth needs. Teori ini merupakan
satu modifikasi dan reformulasi dari teori tata tingkat kebutuhan Maslow.
Alderfer mengelompokkan kebutuhan kedalam tiga kelompok:
a.
Kebutuhan
Eksistensi (Existence Needs)
Kebutuhan akan
substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan,
uang, dan mobil.
b.
Kebutuhan Hubungan
(Relatedness Needs)
Kebutuhan
membagi pikiran dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati
hal-hal yang sama dengan kita. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara
terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan
mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman, dan rekan kerja.
c.
Kebutuhan
Pertumbuhan (Growth Needs)
Kebutuhan-kebutuhan
yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh.
3.
Teori Dua Faktor
Menurut Herzberg
Teori dua faktor
atau juga dikenal sebagai hygiene – motivation.
Herzberg menemukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yang ia
namakan faktor motivator, mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi
pekerjaan yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:
a.
Tanggung jawab (responsibility)
Besar kecilnya
tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja
b.
Kemajuan (advancement)
Besar kecilnya
kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya
c.
Pekerjaan itu sendiri
Besar kecilnya
tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya
d.
Capaian (achivement)
Besar kecilnya
kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi
e.
Pengakuan (recognition)
Besar kecilnya
pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya
Jika
faktor-faktor tersebut tidak (dirasakan) ada, tenaga kerja merasa tidak lagi
puas (not satisfied) yang berbeda
dari tidak puas (dissatisfied).
Kelompok faktor
yang menimbulkan ketidakpuasan yang dinamakan kelompok hygiene, mencakup faktor yang berkaitan dengan konteks dari
pekerjaan, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, dan meliputi
faktor-faktor:
a.
Administrasi dan
kebijakan perusahaan
Derajat
kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang
berlaku dalam perusahaan
b.
Penyeliaan
Derajat
kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja
c.
Gaji
Derajat
kewajaran dari gaji yang diterima sebgai imbalan untuk kerjanya
d.
Hubungan
antarpribadi
Derajat
kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya
e.
Kondisi kerja
Derajat
kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya
Jika
faktor-faktor dirasakan kurang atau tidak diberikan, maka tenaga kerja akan
merasa tidak puas (dissatisfied).
Jika faktor-faktor dirasakan ada atau diberikan, maka yang timbul bukanlah
kepuasan kerja tetapi tidak lagi tidak puas (not dissatisfied).
4.
Teori Motivasi
Berprestasi Menurut David McClelland
Teori motivasi
berprestasi dikembangkan oleh David McClelland, teori ini lebih tepat disebut
sebagai teori kebutuhan dari McClelland karena tidak saja meneliti tentang
kebutuhan berprestasi (need for
achivement) tetapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa (need for power) dan kebutuhan untuk berafiliasi/berhubungan
(need for affiliation).
a.
Kebutuhan untuk
Berprestasi (need for achivement)
McClelland
menemukan bahwa mereka dengan dorongan prestasi yang tinggi berbeda dari orang
lain dalam keinginan kuat mereka untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik.
Mereka yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi lebih menyukai
pekerjaan-pekerjaan dimana mereka memiliki tanggung jawab pribadi, akan
memperoleh balikan dan tugas pekerjaannya memiliki risiko yang sedang (moderate).
b.
Kebutuhan untuk
Berkuasa (need for power)
Kebutuhan untuk
berkuasa ialah adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk
mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain. Orang
dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana
mereka menjadi pimpinan, dan mereka berupaya mempengatuhi orang lain.
c.
Kebutuhan untuk
Berafiliasi (need for affiliation)
Orang-orang
dengan kebutuhan untuk berafiliasi yang tinggi ialah orang-orang yang berusaha
mendapatkan persahabatan. Mereka ingin disukai dan diterima oleh orang lain. Mereka
lebih menyukai situasi-situasi kooperatif, sangat menginginkan
hubungan-hubungan yang melibatkan saling pengertian dalam derajat yang tingi
dan mereka berusaha menghindari konflik.
II.
Pola kepemimpinan
Otokratik, Demokratik, dan Permisif
1.
Pola Kepemimpinan
Otokratik
Kepemimpinan otokratik
didasari oleh salah satu kebutuhan manusia yang disebut kebutuhan akan
kekuasaan, sebagai bagian kebutuhan realisasi atau aktualisasi diri dalam
kebutuhan sosial psikologis yang mendorong seseorang berbuat sesuatu yang
dilakukan dengan menunjukkan kekuasaannya. Seorang pemimpin yang tergolong
sebagai pemimpin yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang dapat
dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Pola kepemimpinan otokratik cocok
digunakan dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian pekerjaan dengan cepat
dan tepat, sesuai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan oleh pimpinan sejak
awal.
Kelemahan
|
Kelebihan
|
ü Bawahan tidak memiliki hak sesuatu
apapun
ü Memperlakukan para bawahan sama dengan
alat-alat lain dalam organisasi
ü Mengabaikan peranan bawahan dalam
proses pengambilan keputusan
ü Tidak menerima saran dari bawahannya
|
ü Menimbulkan kepatuhan yang tinggi
ü Menegakkan disiplin
|
2.
Pola Kepemimpinan
Demokratik
Kepemimpinan demokratik
menempatkan manusia sebagai faktor terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan
dengan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan anggota organisasi. Kepemimpinan
ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang
memiliki harkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama. Pola kepemimpinan
demokratik cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan kerja sama dalam
organisasi karena setiap keputusan dimusyawarahkan dengan semua anggota
organisasi.
Kelemahan
|
Kelebihan
|
ü Kepercayaan tinggi terhadap bawahan
ü Kurang terorganisasi dengan baik
|
ü Perlakuan yang sama dan tidak
membeda-bedakan anggota organisasi
ü Memberikan kesempatan pada anggota
organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan
ü Melakukan musyawarah untuk mencapai
kesepakatan bersama
|
3.
Pola Kepemimpinan
Permisif
Kepemimpinan permisif
merupakan pemimpin yang tidak mempunyai pendirian yang kuat, sikapnya serba
boleh. Pemimpin memberikan kebebasan kepada bawahnnya sehingga bawahan tidak
mempunyai pegangan yang kuat terhadap suatu permasalahan. Pola kepemimpinan
permisif cocok digunakan dalam situasi yang memerlukan bawahan untuk mengambil
keputusan sendiri dalam pekerjaannya.
Kelemahan
|
Kelebihan
|
ü Pemimpin cenderung tidak konsisten
terhadap apa yang dilakukan
ü Tidak menegakkan kedisiplinan
ü Mengiyakan semua saran yang diberikan
oleh bawahan
ü Lambat dalam membuat keputusan
|
ü Ramah dan tidak menyakiti bawahan
ü Bawahan mempunyai kebebasan untuk
mengambil keputusan
|
Sumber:
Munandar, A. S.
(2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press
Sudaryono.
(2014). Budaya & Perilaku Organisasi. Jakarta: Lentera Ilmu Cendikia
Usman, H.
(2014). Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan Edisi 4. Jakarta: Bumi
Aksara