Wednesday, March 26, 2014

Kesehatan Mental (Tulisan 1)

A.  Konsep Diri
1.     Penjabaran Tentang Konsep Diri Saya Secara Real
Saya adalah seorang anak perempuan yang dilahirkan 20 tahun yang lalu tepatnya di Jakarta, 19 Juni 1994. Nama saya adalah Arin Hananira, saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini saya adalah seorang mahasiswi dari Universitas Gunadarma jurusan Psikologi.
Saya adalah orang yang bersifat introvert (tertutup) kepada orang-orang yang ada di sekeliling saya tetapi tidak kepada keluarga saya karena saya selalu menceritakan apa yang telah terjadi kepada diri saya. Dengan cara seperti itu saya merasa nyaman karena keluarga saya mengetahui apapun yang terjadi pada diri saya. Selain bersifat introvert, saya juga termasuk salah seorang yang sangat boros atau lebih tepatnya kurang bisa memanajemen uang yang saya miliki. Orang-orang di sekeliling saya sering mengatakan bahwa saya adalah pendengar yang baik sehingga seringkali orang-orang yang ada di sekeliling saya mempercayai saya untuk mendengarkan masalah yang dialami dan terkadang memberi mereka solusi atas masalahnya.
      Jika digolongkan ke dalam 4 tipe kepribadian secara umum, saya termasuk ke dalam tipe kepribadian Plegmatis karena saya orang yang senang dan mudah bergaul namun dalam pergaulan, saya lebih sering diam dan berada di posisi pendengar. Dibawah ini merupakan beberapa kelebihan dan kekurangan dari tipe Plegmatis yang sifatnya ada dalam diri saya:
Kelebihan :
a.       Tidak banyak bicara, simpatik, peduli
b.      Penengah masalah dan pendengar yang baik
c.       Cenderung menemukan cara termudah
d.      Rasa humor yang tajam
e.       Senang melihat dan mengawasi
Kekurangan :
a.       Kurang antusias terhadap hal baru
b.      Pemalu, pendiam, dan sulit memotivasi diri
c.       Lebih suka menjadi penonton daripada terlibat
d.      Cepat menyerah bila dalam keadaan sulit
e.       Menunda-nunda dan menggantungkan masalah
Demikianlah penjabaran yang saya ketahui tentang diri saya, mungkin ada banyak lagi sifat-sifat yang saya miliki namun hanya beberapa yang saya bisa nilai dari diri saya. Tentunya orang lain bisa menilai saya berbeda dengan apa yang saya jabarkan.

B.   Kasus Ketidaksehatan Mental
Mengapa Sondang Bakar Diri ?
Oleh dr. Andri, SPKj







Saya terus terang kaget ada berita tentang pendemo yang bakar diri di depan Istana Merdeka beberapa waktu lalu. Lebih kaget lagi karena ini dilakukan oleh seorang yang secara usia memang sudah dalam taraf disebut dewasa muda.
Usia sudah lebih dari 18 tahun secara teori sudah matang secara kepribadian walaupun pada kenyataannya ada yang tidak demikian. Kemudian, kemarin pagi saya membaca berita kalau mahasiswa yang belakangan diketahui bernama Sondang Hutagalung itu telah meninggal dunia akibat luka bakar yang dideritanya. Berita duka cita ini membuat orang semakin prihatin, betapa perjuangannya harus ditebus dengan nyawa. Simpati dan bahkan gelar sarjana kehormatan ingin disematkan kepada Sondang Hutagalung.
Terpicu oleh pertanyaan salah seorang follower twitter saya @mbahndi tentang apa pendapat saya secara kejiwaan berhubungan dengan kasus Sondang ini, maka saya tergerak untuk menuliskan sekiranya apa yang mungkin menjadi latar belakang kondisi kasus yang menimpa Sondang. Bukan bermaksud untuk menafikan apa yang telah dilakukan oleh almarhum, hanya ingin melihat dari sisi kedokteran jiwa, bidang yang saya geluti sehari-hari.
Bakar Diri Tanda Sakit Jiwa ?
Tidak ada yang bisa memastikan apa yang terdapat di dalam pikiran almarhum ketika melakukan aksi nekatnya tersebut. Keluarga terutama ayah yang diwawancarai beberapa media juga menyatakan penyesalannya akan tindakan almarhum, bahkan ayah almarhum yang bekerja sebagai sopir taksi juga seringkali mengingatkan almarhum agar tidak berdemo karena mengganggu lalu lintas (www.poskota.co.id tanggal 09/12/2011).
Bakar diri pernah akrab dalam berita beberapa waktu lalu. Banyak pemuda melakukan hal tersebut karena “kecelakaan” saat mencoba mengancam membunuh diri akibat pertengkaran dengan kekasih. Kasus-kasus seperti ini sebenarnya lebih bisa dilihat sebagai suatu hal yang banyak berhubungan dengan kondisi gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder).
Gangguan kepribadian ambang seringkali dianggap sebagai kondisi yang membuat penderitanya sulit menerima penolakan dan mudah melakukan sesuatu yang berisiko berhubungan dengan penolakan itu. Sifat pasif agresif, artinya secara ekspresi emosional bersikap pasif tetapi agresif secara perilaku cukup erat dengan tipikal gangguan kepribadian jenis ini. Beberapa orang dengan suatu ciri kepribadian ini sering dikatakan siap bertindak nekat dengan alasan yang kadang tidak terlalu jelas.
Impulsif dalam artian mudah meletup-letup juga adalah bagian dari perilaku yang dihubungkan dengan kondisi kepribadian tipe ini. Salah satu hal yang banyak terjadi adalah perilaku menyakiti diri sendiri yang banyak terjadi pada orang dengan gangguan kepribadian ambang.
Jadi kalau memang tindakan bakar diri adalah suatu tindakan impulsif dan merupakan tindakan yang dihubungkan dengan suatu kekecewaan yang kemudian dilepaskan dalam bentuk perilaku menyakiti diri sendiri, bisa saja hal ini diamini sebagai suatu bagian perilaku berisiko yang dilakukan oleh individu yang mengalami gangguan kepribadian ambang.
Sondang Kecewa Berat ?
Kembali ke masalah almarhum Sondang, apakah sekiranya yang menjadi faktor pemicu almarhum melakukan tindakan yang dikatakan nekat ini? Apakah ini disebabkan karena kekecewaan berat terhadap penguasa yang tidak dapat ditahannya sendiri dan kemudian dimanifestasikan dengan tindakan membakar diri? Ataukan ada motif lain dari apa yang dilakukannya?
Tidak ada yang tahu pasti mengapa itu terjadi. Tapi setidaknya dari pikiran pribadi saya sendiri, sebenarnya masih banyak cara lain yang lebih pas untuk mengekspresikan diri atau menyatakan kekecewaan. Membakar diri rasanya bukan jalan yang bijaksana. Apalagi jika dalam kehidupan sosial, almarhum adalah orang yang diharapkan keluarga. Tetapi hidup memang pilihan bukan ?

Pendapat :
Sejujurnya saya sangat prihatin dengan adanya kasus ini karena hanya karena adanya aksi demonstrasi, seorang mahasiswa nekat membakar dirinya. Memang belum ada kejelasan mengapa seorang mahasiswa yang bernama Sondang nekat membakar dirinya karena hanya dia yang mengetahui motif dari aksi nekatnya. Sondang Hutagalung kini telah tiada karena luka bakar ditubuhnya.
Dalam kasus ini seorang dokter ahli jiwa memberikan pendapatnya tentang kasus ini. Dalam kasus ini tidak dapat dikatakan bahwa Sondang sakit jiwa dengan nekat membakar dirinya tetapi dokter Andri mengatakan bahwa ini lebih condong kepada gangguan kepribadian ambang atau sering disebut borderline personality disorder karena berpotensi merusak diri.

Semoga almarhum Sondang Hutagalung tenang di sisi-Nya, disini saya hanya memberikan pendapat saya tenang kasus ketidaksehatan mental, tidak untuk membuka luka lama keluarga maupun kerabat korban tentang almarhum.

Kesehatan Mental (Tugas 1)

1.    Pengantar
A.   Orientasi Kesehatan Mental
Beberapa ahli mengemukakan orientasi umum dan pola-pola wawasan kesehatan mental, yang terbagi menjadi tiga orientasi, yaitu :
1)      Orientasi Klasik
Orientasi klasik ini banyak digunakan dalam dunia kedokteran, termasuk psikiatri. Menurut pandangan orientasi klasik, individu yang sehat adalah individu yang tidak mempunyai keluhan tertentu, seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri, atau perasaan tak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan “sakit” atau “perasaan tak sehat”, serta mengganggu efisiensi dan efektifitas kegiatan sehari-hari. Individu yang sehat adalah individu yang tidak mempunyai keluhan secara fisik dan mental. Sehat fisik merujuk pada tidak adanya keluhan secara fisik, dan sehat mental merujuk pada tidak adanya keluhan secara mental.
2)        Orientasi Penyesuaian Diri
Pandangan yang digunakan sebagai landasan orientasi penyesuaian diri adalah pendekatan yang menegaskan bahwa manusia pada umumnya adalah makhluk yang sehat secara mental. Dengan pandangan ini penentuan sehat atau sakit mental dilihat sebagai derajat kesehatan mental. Selain itu, berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental dipahami sebagai kondisi kepribadian individu secara utuh. Penentuan derajat kesehatan mental bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungannya. Kesehatan mental seseorang sangat erat kaitannya dengan tuntutan-tuntutan masyarakat tempat dimana individu hidup, masalah-masalah hidup yang dialami, peran sosial dan pencapaian-pencapaian sosialnya.
Kesehatan mental merupakan kemampuan individu untuk secara aktif menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya, yang merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya. Penyesuaian diri ini tidak mengakibatkan perubahan kepribadian, stabilitas diri tetap terjaga, dan tetap memiliki otonomi diri. Individu dapat menerima apa yang ia anggap baik dan menolak apa yang ia anggap buruk berdasarkan pegangan normatif yang ia miliki. Individu yang sehat akan melihat realitas terhadap masalah yang dihadapinya dan bagaimana kondisi dirinya berkaitan dengan masalah itu sebelum menentukan tindakan yang akan diambil. Individu yang sehat memiliki kemampuan memahami realitas internal dan eksternal dirinya. Ia tidak bereaksi secara mekanik atau kompulsif-repetitif tetapi merespons secara realistis dan berorientasi pada masalah.
3)      Orientasi Pengembangan Potensi
Menurut pandangan ini, kesehatan mental terjadi bila potensi-potensi kreatifitas, rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, kebebasan bersikap dapat berkembang secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan disekitarnya. Individu dianggap mencapai taraf kesehatan mental, bila ia mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga dapat dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Individu yang sehat mental adalah individu yang dapat dan mampu mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya untuk kegiatan yang positif-konstruktif, sehingga dapat meningkatkan kualitas dirinya. Pemanfaatan dan pengembangan potensi ini dapat dipergunakan dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari.

B.   Konsep Sehat
Konsep sehat dan kesehatan merupakan dua hal yang hampir sama tapi berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan.
Beberapa abad yang lalu, sehat diartikan sebagai suatu kondisi yang normal dan alami sehingga suatu kondisi yang tidak normal dan bertentangan dengan alam dianggap tidak sehat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengembangkan defenisi tentang sehat. Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat didefenisikan sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki. Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan bahwa Sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.

C.   Sejarah Perkembangan
Sejarah perkembangan kesehatan mental pertama kali itu pada jaman nenek moyang yang mengalami gangguan mental seperti halnya homo sapiens sendiri. Mereka mengalami kecelakaan dan demam yang merusak mental. Jadilah manusia yang dengan rasa putus asa selalu berusaha untuk menjelaskan tentang penyakit mental. Dengan kesehatan mental ini kita dapat bandingkan dengan mata uang yang mempunyai dua sisi yang di sisi satunya sakit dan yang di sisi satunya lagi sehat. Di sisi ini dapat dilihat kemungkinan di kedua sisi itu kira kira 50:50.
Perlu diketahui disini sejarah tercatat melaporkan berbagai macam interpretasi mengenai penyakit mental dan cara menghilangkannya. Hal ini disebabkan oleh dua alasan , yaitu Sifat dari masalah yang disebabkan oleh tingkah laku abnormal membuatnya menjadi merasa ketakutan; Perkembangan semua ilmu pengetahuan begitu lambat , dan banyak kemajuan yang sangat penting. Pada masa awal awal orang yang sakit mental dapat dipahami secara keseluruhan sering diperlakukan dengan kurang baik. Di jaman prasejarah pun manusia purba sering kali mengalami gangguan mental baik fisik maupun gangguan yang baik. Di jaman prasejarah ini juga terdapat perawatan-perawatan untuk penyakit gangguan mental yaitu : menggosok,menjilat,mengisap dan memotong.
Sejarah kesehatan mental tidaklah sejelas sejarah ilmu kedokteran. Ini terutama karna masalah mental bukan merupakan masalah fisik yang dengan mudah dapat diamati dan terlihat. Hal ini lebih karna mereka sehari-hari hiduo bersama sehingga tingkah laku yang mengindikasikan gangguan mental dianggap hal yang biasa bukan lagi sebagai gangguan.

2.    Teori Kepribadian Sehat
A.   Aliran Psikoanalisa
Teori psikoanalisa menelaah kepribadian pribadi motif motif tak sadar yang mengarah perilaku. Teori psikoanalisa membahas perkembangan kepribadian. Freud membandingkan pikiran manusia dengan gunung es. Bagian kecil yang tampak si atas permukaan air menggambarkan pengalaman sadar; bagian yang lebih besar di bawah permukaan air menggambarkan ketidaksadaran gudang impuls, nafsu, ingatan yang tidak terjangkau, yang mempengaruhi pikiran dan perilaku. Bagian ketidaksadaran psike inilah yang berusaha diselidiki Freud melalui tekhnik asosiasi bebas, yang menghendaki orang menyatakan hal-hal yang muncul dalam kesadarannya, tidak peduli apakah hal itu tampak memalukan atau tampak tidak ada artinya. Dengan menganalisis asosiasi bebas, termasuk ingatan tentang mimpi dan kenangan masa kanak-kanak awal, Freud berusaha mambantu pasiennya menyadari hal-hal yang tidak disadari dang dengan cara demikian menemukan faktor penentu utama kepribadian.
Freud yakin bahwa kepribadian tersusun dari tiga sistem utama: Id, Ego, Superego.
1)      Id: merupakan bagian yang paling primitive, yang sudah ada sejak lahir. Dari Id inilah ego dan superego berkembang. Id terdiri dari impuls (dorongan) biologis dasar, seperti kebutuhan makan, minum, buang air, menghindari rasa sakit, dan memperoleh kenikmatan seksual.
2)      Ego: mengikuti prinsip realitas pemuasan impuls harus di tunda sampai ditemukan kondisi lingkungan yang tepat. Misalnya dengan mempertimbangkan dunia nyata, ego menunda pemuasan impuls seksual sampai diperoleh kondisi yang tepat. Pada dasarnya, ego merupakan badan eksekuif kepribadian yang menetapkan tindakan apa yang tepat, impuls id mana yang akan dipuaskan, dan cara pemuasan apa yang akan dilakukan. Ego menjadi penegah antara tuntutan id, realitas lingkungan dan tuntutan superego.
3)      Superego: gambaran internalisasi nilai dan moral masyarakat yang diajarkan orangtua dan orang lain pada anak. Pada dasarnya superego merupakan hati nurani seseorang. Superego menilai apakah suatu tindakan benar atau salah. Id cari kesenangan, ego menguji realitas, dan superego berusaha menjadi sempurna. Superego berkembang sebagai respons terhadap ganjaran dan hukuman orangtua.

B.   Aliran Humanistik
Menurut aliran humanistik kepribadian yang sehat, individu dituntut untuk mengembangkan potensi yang terdapat didalam dirinya sendiri. Bukan saja mengandalakan pengalaman-pengalaman yang terbentuk pada masa lalu dan memberikan diri untuk belajar mengenai suatu pola mengenai yang baik dan benar sehingga menghasilkan respon individu yang bersifat pasif.
Ciri dari kepribadian sehat adalah mengatualisasikan diri, bukan respon pasif buatan atau individu yang terimajinasikan oleh pengalaman-pengalaman masa lalu. Aktualisasi diri adalah mampu mengedepankan keunikan dalam pribadi setiap individu, karena setiap individu memiliki hati nurani dan kognisi untuk menimbang-nimbang segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya.
Humanistik menegaskan adanya keseluruhan kapasitas martabat dan nilai kemanusiaan untuk menyatakan diri. Bagi ahli-ahli psikologi humanistik, manusia jauh lebih banyak memiliki potensi. Manusia harus dapat mengatasi masa lampau, kodrat biologis, dan ciri-ciri lingkungan. Manusia juga harus berkembang dan tumbuh melampaui kekuatan-kekuatan negatif yang secara potensial menghambat.
Gambaran ahli psikologi humanistik tentang kodrat manusia adalah optimis dan penuh harapan. Mereka percaya terhadap kapasitas manusia untuk memperluas, memperkaya, mengembangkan, dan memenuhi dirinya, untuk menjadi semuanya menurut kemampuan yang ada. Aliran Humanistik juga memfokuskan diri pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional dalam mengendalikan hasrat biologisnya guna meraih potensi maksimal. Manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka. 
C.   Pendapat Fromm
Menurut Erich Fromm, manusia adalah makhluk sosial. Berdasarkan pada pendapat tersebut, maka salah satu ciri pribadi yang sehat berarti adanya kemampuan untuk hidup dalam masyarakat sosial.
Menurut Fromm, ada lima watak sosial di dalam masyarakat: Penerimaan (receptive), Penimbunan (hoarding), Penjualan/pemasaran (marketing), Penghisapan/pemerasan (exploitative), Produktif (productive).
Dari kelima watak sosial ini yang benar-benar tepat dan sehat hanyalah watak produktif karena watak produktif didorong oleh cinta dan akal budi dan dapat membantu perkembangan dan pertumbuhan pribadi dan masyarakat. Masyarakat yang baik perlu ditopang dengan cinta. Oleh karena itu, Fromm menyebutkan 5 tipe yang berbeda tentang cinta, yaitu: cinta persaudaraan, cinta keibuan, cinta erotik, cinta diri, dan cinta illahi.
Menurut Fromm, cinta sangat penting untuk membangun dunia yang lebih baik sebab yang dicari setiap orang di dalam masyarakat bukan penderitaan. Jadi menurut Fromm, pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu hidup dalam masyarakat sosial yang ditandai dengan hubungan-hubungan yang manusiawi, diwarnai oleh solidaritas penuh cinta dan tidak saling merusak atau menyingkirkan satu dengan lainnya.
Penyesuaian Diri
1.     Konsep Penyesuaian Diri
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai adaptasi dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip. Penyesuaian sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang memenuhi syarat. Penyesuaian sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respons emosional yang tepat pada setiap situasi. Disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak pernah tercapai. Penyesuaian yang terjadi jika manusia/individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirnya dengan lingkungannya dimana tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan dimana semua fungsi organisme/individu berjalan normal. Sekali lagi, bahwa penyesuaian yang sempurna itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu penyesuaian diri lebih bersifat sutau proses sepanjang hayat (lifelong process), dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat. Respons penyesuaian, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai sutau upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi keseimbangan sutau proses kearah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam proses penyesuaian diri dapat saja muncul konflik, tekanan, dan frustasi dan individu didorong meneliti berbagai kemungkinan perilaku untuk membebaskan diri dari tegangan. Individu dikatakan berhasil dalam melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang wajar atau apabila dapat diterima oleh lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu lingkungannya.
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang dapat melakukan penyesuaian diri secara positif, namun adapula individu-individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah. Berikut ini akan ditinjau karakteristik penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah.
Sumber :
Schultz, Duane.1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Kanisius
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepribadian